Puisi-Puisi Menggugah Karya Albertus Muda Atun

Puisi-Puisi Menggugah Karya Albertus Muda Atun

Senja Akan Berlalu

Seperti kuncup bunga yang perlahan kehilangan warna, ketika matahari mengasah panasnya di punggung hari, demikian pula perjalanan manusia. Ia mekar sebentar, menjadi harum sejenak, lalu menyerah pada musim yang memanggilnya kembali. Seperti senja yang menggeser dirinya dari ufuk ke ufuk, demikianlah langkah hidup yang selalu dirundung bayang kematian; ada saat ketika jejak berhenti, pada titik yang diguratkan tangan Sang Pencipta jauh sebelum kita belajar mengeja kata esok.

Hidup akan menjadi padang retak dan sunyi, bila lupa disiram firman-Nya, bila jiwa membiarkan angin dunia menjadikan hatinya tanah gugur tanpa benih. Sebab hidup bukan hanya pesta bunga yang cepat gugur di taman fana; ia rindu dirawat, diarahkan, agar tumbuh menuju Taman Ilahi di mana setiap kelopak menjadi doa, setiap buah menjadi syukur ketika disinari firman-Nya yang tak pernah layu.

Jembatan Perjanjian

Di padang gurun, ketika sunyi menjelma ruang tanpa tepi, terdengar sebuah suara yang menembus jauh hingga ke batu paling beku dalam hati manusia. Suara itu memanggil dengan kelembutan yang menggetarkan, menarik jiwa untuk berjalan pelan-pelan menuju cahaya yang menunggu di ambang kata pertobatan. Ia bukan sekadar gema yang berserak di udara, melainkan nyala yang tumbuh dari inti batin, api yang membersihkan, memurnikan, hingga jiwa bening kembali serupa embun yang pertama kali dicium matahari.

Di ambang gerbang Kerajaan, ia berdiri seperti penjaga fajar yang tak pernah lelah menunggu cahaya. Ia menyapa domba-domba yang pernah tersesat, mengulurkan lengan pulang ke kandang damai yang diam-diam selalu mereka rindukan. Suaranya oh, suaranya! menggoyahkan hati seperti badai yang meruntuhkan topeng-topeng rapuh. Seluruh hidupnya terbakar menjadi kesetiaan, meleburkan dirinya dalam pengabdian tanpa syarat, menjadikannya martir yang tubuhnya mungkin ringkih, namun cahayanya tak pernah padam sedetik pun.

Ia pun menjadi jembatan perjanjian, tempat langkah manusia berpapasan dengan jejak Sabda Ilahi yang menghidupkan. Di jembatan itu, suara Roh berdesir lembut dan suara batin berlutut dalam kekaguman. Menjadi jembatan perjanjian adalah menjadi pelita yang berpendar di tengah angin dunia, berani menyala ketika dunia memaksa redup, berdiri tegak ketika arus menuntut keseragaman agar cahaya tetap menjadi cahaya, tak kehilangan bentuk, tak kehilangan makna.

Kasih yang Terluka

Engkau yang bersemayam di lengkung langit tak terjangkau, mengalirkan kasih-Mu seperti sungai abadi yang membasuh noda jiwaku dan menegakkanku kembali sebagai anak-Mu. Kasih-Mu menuntun langkahku agar aku tak tersesat di jalan dunia dan tetap menuju kebebasan rohani yang lebih luas dari cakrawala. Namun aku sering menolak panggilan-Mu, membiarkan hatiku keras dan melihat perintah-Mu sebagai beban, bukan cahaya yang menyembuhkan.

Kini aku merindukan damai-Mu, damai yang terguncang oleh ketidaksetiaanku sendiri. Bukalah pintu berkat-Mu, Tuhan, bimbinglah aku dengan Roh-Mu agar imanku kembali menjadi batu karang. Engkau memanggilku pulang ke kasih-Mu yang pernah kulukai, namun tetap terbuka seluas langit bagi jiwa yang ingin kembali.

Menampilkan Wajah Allah

Pepohonan berbuah mewartakan kasih, bunga-bunga mekar menjadi doa tanpa suara, dan senyum bayi adalah matahari yang menyingkap wajah Allah di pagi dunia. Namun bumi merintih dalam luka, sebab manusia menukar kebenaran dengan dusta, memajang ketidakadilan dan menyingkirkan Allah dari denyut hidupnya. Ciptaan dibarui oleh rahmat, namun hancur oleh tangan yang lupa bersyukur; manusia dibasuh kasih dari dalam, tetapi dikhianati zaman dari luar.

Padahal Allah berdiam dalam tubuh yang terluka: pada yang buta, lumpuh, tersingkir, dan dibangkitkan. Namun kita lupa bahwa keselamatan pernah menyentuh kita. Mari menampilkan wajah Allah sebelum senja kehilangan cahaya; wajah yang menyelamatkan, bukan menghakimi, sebab dalam mata sesama, kita sedang memandang wajah-Nya sendiri.

Ujilah Kesabaran

Awan menenun nubuat hujan yang memikul rahasia langit, tanah membuka rahimnya menyusui rerumputan dengan air kesabaran. Petani menggantungkan doa pada cakrawala, sementara jerit orang miskin menggetarkan takhta Allah. Ujilah kesabaranmu sebab hujan tak sekadar jatuh, ia adalah rahmat yang membasuh luka zaman.

Rerumputan liar di ladang jiwa harus dicabut hingga ke akar keangkuhan, agar berkat Allah mengalir seperti sungai tanpa muara, melimpah hingga kekal. Ujilah kesabaranmu sebab penderitaan bukan malam abadi. Sejak para nabi hingga Sang Sabda menjelma, derita menjadi jalan sunyi menuju terang. Ia yang pernah dilukai salib kini berdiri sebagai Hakim sejarah, menimbang dunia dengan timbangan kasih dan keadilan.

Ujilah kesabaranmu sebab sukacita telah bersemi di nadimu. Jangan menutup mata pada terang yang kau hirup, jangan berpura-pura tuli pada nyanyian rahmat yang memanggil pulang. Bersoraklah dengan pertobatan, sebab kerahiman-Nya telah menutupi bumi seperti samudra menelan batas-batas pantai.

Rahmat di Tengah Dosa

Hidup berputar dalam roda sejarah seperti bumi yang letih menanggung luka, setiap langkah tertinggal jejak retak, tak satu pun perjalanan benar-benar suci. Nafsu dunia menggerogoti sumsum nurani, namun di sela reruntuhan itu Engkau menaburkan rahmat laksana benih cahaya di ladang kematian. Ada kisah luka yang berteriak tanpa suara, keadilan yang disalibkan di alun-alun sunyi; ada hidup yang menyimpang, jiwa-jiwa yang diasingkan dari pelukan kemanusiaan.

Ada singgasana kuasa yang mabuk darah dan pujian, wewenang yang menjelma berhala dan menelan martabat sesama. Namun syukur tak pernah padam di hadapan-Mu, ya Allah, sebab Engkau tak pernah mencabut rahmat meski kami mencabik janji. Engkau menulis keselamatan dengan tinta sejarah yang bengkok, menyulam terang dari benang dosa kami. Kesalahan kami tak pernah lebih besar dari kesetiaan kasih-Mu.

Janji yang lama berdiam dalam rahim waktu, kini menjelma daging dan bernapas di tengah kami. Sejarah yang lahir dari kerapuhan dan air mata, Engkau ubah menjadi jalan keselamatan. Kami yang cuma debu di telapak kaki-Mu, kini diangkat menjadi anak-anak Allah, bukan karena layak, melainkan karena dikasihi. Engkau hadir dalam hidup kami yang berantakan, di tengah puing-puing masa lalu yang hitam dan berbau.

Kristus menebus malam kami dengan fajar dari luka salib-Nya. Kami yang lari dari wajah-Mu Kau kejar dengan kasih yang tak mengenal lelah, Kau panggil kembali untuk berjumpa dengan-Mu dalam Sabda yang menjadi manusia. Kini kami berbenah, menanggalkan kesombongan dan topeng kesalehan, melangkah pulang dengan hati remuk, menuju rahmat yang selalu menunggu.

Memancarkan Cahaya Tuhan

Ketika mata yang buta melihat dengan jantung nurani, mata yang sempurna justru membatu, menajamkan sinis seperti kaca retak. Ketika telinga yang tuli mendengar dengan palung jiwa, yang merasa utuh menutup diri, berpaling pongah, seolah suara kasih tak layak singgah di dadanya. Cahaya Tuhan jatuh tanpa pilih, seperti hujan yang tak menghitung atap. Ia menyapa yang buta dan tuli, sementara yang mengaku melihat menyaring terang sesuai selera ego.

Di manakah wajah Tuhan berdiam? Pada kesalehan yang bermahkota angkuh, atau pada luka-luka yang bersujud sunyi di tubuh orang miskin dan tersingkir? Tuhan menjelma di setiap insan, terutama pada mereka yang dilupakan jalan dan ditolak pintu. Marilah memantulkan wajah-Nya dengan hidup yang rendah hati, sebab yang buta dan tuli pun mampu menjadi matahari bagi dunia yang kehilangan terang.

0 Response to "Puisi-Puisi Menggugah Karya Albertus Muda Atun"

Posting Komentar