Dilarang Buang Air Kecil di Restoran Ramen Halal Osaka


Hari ini adalah hari terakhir kami di Osaka. Pukul 10 pagi, kami siap-siap untuk check out dari apartemen. Setelah memastikan semua barang sudah rapi dan tidak ada yang tertinggal, Gandi memesan taksi online ke stasiun Nishinakajimaminamigata. Karena membawa koper besar, kami memilih jenis taksi yang lebih besar. Dari sini, kami hanya perlu naik Midosuji Line menuju Namba.

Sekitar beberapa menit sebelum pukul 11, kami tiba di Namba. Penerbangan ke Hongkong masih berada di sekitar pukul 5 sore. Masih cukup banyak waktu untuk menikmati suasana kota Osaka di siang hari.

Di Namba, kami menitipkan beberapa koper di penitipan loker elektronik. Ada berbagai ukuran loker dengan harga sewa antara 600 hingga 1000 Yen. Cukup dengan memasukkan uang kertas atau kartu pembayaran digital, lalu scan kode QR. Kami harus mengingat posisi loker agar tidak salah ketika mengambilnya sore nanti.

"Jika ke Osaka, jangan lupa mampir ke restoran ramen halal milik orang Indonesia," pesan melalui WhatsApp yang saya terima dari mbak Ervita beberapa hari lalu. Mbak Ervita juga memberikan link Google Maps untuk menuju ke restoran tersebut. Namanya "Halal Namba Ramen", dan lokasinya sekitar 15 menit dari stasiun Namba dengan naik metro plus sedikit jalan kaki.

Saya bersama istri langsung naik metro Medisuju Line menuju Daikoku, sementara kedua anak saya izin jalan-jalan sendiri. Masih ada oleh-oleh yang ingin dibeli. Kami sepakat bertemu kembali di stasiun ini, tepatnya di loker penyimpanan koper.

Di stasiun Daikokucho, kami beralih ke line Yotsubashi yang berwarna biru dan naik satu stasiun ke Hanazonocho. Turun di sini, stasiun terlihat sepi pada siang hari. Hanya kami berdua. Kursi-kursi kosong warna biru berjajar rapi, dinding keramik tanpa noda, dan papan penunjuk arah menyala dengan kepastian yang nyaris mekanis. Saya duduk sebentar sebelum melanjutkan perjalanan, dan di kejauhan tampak tiga orang perempuan berjalan sambil menggeret koper.

Kami berjalan mengikuti arah ekit no dua. Di dekat penghujung ternyata tidak ada lift, yang ada hanya puluhan anak tangga menuju ke permukaan. Perlahan kami menaiki satu demi satu anak tangga sambil mengingat posisi lift yang ada di pintu di sisi lain stasiun.

Kami berjalan menyusuri kaki lima jalan raya National Route 26 yang menghubungkan Osaka dan Wakayama. Kaki lima yang nyaman dan tidak terlalu ramai dengan udara musim gugur yang sejuk. Ada tempat parkir sepeda di tepi jalan dan juga ada sebuah taksi berwarna hitam yang menurunkan penumpang yang naik kursi roda. Saya jadi ingat seorang teman di Erfa News yang sering mengembara kemana-mana sendirian saja dengan menggunakan kursi roda.

Setelah menyeberang jalan, titik lokasi Namba Halal Restaurant berada di sebelah kiri. Saya terus berjalan dan sempat melewati sebuah restoran Vietnam. Namun belum melihat plang resto tersebut sampai akhirnya saya melihat ada papan nama sebuah rumah sakit. Tapi Osaka, seperti kota-kota Jepang lain, kadang suka menguji kesabaran.

Kami tiba di titik yang menurut peta seharusnya sudah dekat. Tapi yang terlihat justru rumah makan Vietnam, lalu sebuah rumah sakit. Tidak ada papan nama ramen, tidak ada tulisan halal. Saya dan istri saling pandang.

Sadar sudah melangkah terlalu jauh, akhirnya kami balik beberapa puluh langkah. Saya masuk ke sebuah gedung yang tadinya terlewat. Baru sadar, restoran itu ternyata berada di lantai empat gedung ini. Sama sekali tidak ada petunjuk di tepi jalan.

Saya masuk ke gedung yang di bawahnya ada sebuah gerai mirip bar atau cafe dan menuju ke lift. Di dinding dekat lift ini ada sebuah papan petunjuk lantai yang menunjukkan gedung ini terdiri dari sembilan lantai.

Mata saya menyapu dari bawah ke atas. Di lantai pertama, Mango Siam dan Bar Daikichi menyambut siapa saja yang baru melangkah masuk. Aroma minuman, musik pelan, dan obrolan ringan biasanya menjadi pembuka malam. Namun karena siang tentu saja sepi. Lantai dua, tertulis dalam aksara Hiragana, juga sebuah bar. Lantai tiga bikin geleng-geleng. Tertulis Sparriw LGBT 69. Tapi di baris keempat, mata saya berhenti cukup lama.

4F -- Halal Namba Ramen -- Iqra Halal Restaurant.

Di kota seperti Osaka, tulisan "halal" bukan sekadar penunjuk arah. Ia seperti tanda kecil bahwa kita tidak sepenuhnya sendirian di tempat yang asing. Tidak salah ini tempat yang kami cari.

Naik lift, pintu terbuka. Benar saja, di lantai empat ada beberapa restoran. Salah satunya restoran India. Di dekat pintu dipajang menu seperti Beef Biryani with Lassi, Chicken Biryane, Tempura udon dan Karage Udon.

Di sudut lain, akhirnya kami melihatnya, Namba Ramen Halal. Di atas pintu ada gambar ramen yang terlihat hangat dengan sumpit dan tulisan 100% halal. Di bagian bawah peniti sekala tulisan jalan ada juga pesan bahwa resto ini hanya menerima cash.

Restorannya tidak ramai. Hanya ada sepasang turis Eropa yang sedang makan. Penjaganya seorang pria muda. Ia menyapa kami dalam bahasa Jepang, lalu beralih ke bahasa Inggris. Tapi ketika saya menyapanya dalam bahasa Indonesia, wajahnya langsung berubah—lebih ramah, seperti menemukan kerabat sekampung di negeri orang.

Namanya Sony. Ia hanya sendiri melayani pembeli, koki, pelayan, dan juga merangkap kasir. Kami bercakap-cakap sejenak sambil melihat menu. Sony datang ke Jepang dengan tujuan belajar bahasa Jepang dan ternyata bisa bekerja paruh waktu di resto ini. Dia sudah sekitar sembilan bulan bekerja di sini. Ketika saya tanya penghasilannya, "Lumayan," katanya sambil tersenyum. Ada nada bangga kecil di sana—bangga bisa bertahan hidup di Osaka.

Kami memesan ramen. Saya memilih ramen vegetarian, sementara istri memesan yang berdaging. Sambil menunggu, obrolan mengalir. Saya bilang tahu tempat ini dari Mbak Ervita, yang bulan Mei lalu sempat datang ke Osaka. Dari Mbak Ervita saya tahu bahwa pemilik resto ini orang Indonesia dan ketika itu yah melayani Mbak Ervita adalah seorang perempuan. Agung mengangguk. Katanya, pegawai di sini memang gantian. Hari itu ia sendirian berjaga.

Pemilik restoran, Pak Ali Akhbar, katanya sedang keluar. "Mungkin nanti datang," ujarnya ringan.

Tak lama kemudian, ramen datang. Mangkoknya mengepul. Aromanya bersih dan menenangkan. Saya sempat memotret menu dan hidangan. Baru beberapa suapan, dua orang masuk. Yang laki-laki kemungkinan besar orang Indonesia, mengenakan peci haji. Yang perempuan berwajah Jepang. Mereka duduk, berbincang dalam bahasa Jepang, lalu kemudian makan ramen.

Kami menyelesaikan makan. Setelah itu, Agung mendekat dan berkata pelan, hampir seperti membisikkan rahasia kecil. "Pak, itu pemilik restoran ini. Pak Ali. Yang perempuan istrinya."

Kami pun berkenalan. Pak Ali ramah, hangat, dan sederhana. Ia sudah 25 tahun tinggal di Jepang. Restoran ini sendiri baru beberapa tahun berjalan. Lucunya dia memanggil Sony dengan Agung.

Terlihat hubungan mereka cukup akrab dan cair. Bukan sekadar karyawan dan majikan, tapi lebih seperti keluarga kecil di perantauan.

Kami berbincang sejenak tentang hidup di Jepang, tentang kerja, tentang bertahan. Tidak panjang, tapi cukup untuk membuat tempat ini terasa lebih dari sekadar restoran. Sebelum berpisah, kami foto bersama. Saya diberi kartu nama, lalu bertukar nomor WhatsApp—baik dengan Agung maupun Pak Ali.

Sebelum pamit, saya sempat mampir ke toilet. Ada pesan unik di dinding dalam bahasa Inggris: "Please don't pee standing up, Let's respect women."

Ketika keluar dari gedung itu, Osaka terasa sedikit berbeda. Bukan semata karena ramennya, tapi karena di lantai empat sebuah gedung biasa, ada cerita tentang orang-orang Indonesia yang membangun hidup di negeri orang. Dan semua itu bermula dari satu pesan WhatsApp—dari Mbak Ervita, yang bulan Mei lalu sempat singgah di Osaka.

Tapi yang lebih berkesan bagi saya adalah pesan untuk tidak kencing berdiri di restoran ini.

Kadang, rekomendasi sederhana memang tidak membawa kita ke tempat paling terkenal. Tapi justru ke tempat yang paling berkesan.

0 Response to "Dilarang Buang Air Kecil di Restoran Ramen Halal Osaka"

Posting Komentar