8 Perilaku Halus yang Mengungkap Rasa Rendah Diri, Menurut Psikologi

Perilaku Halus yang Menunjukkan Rasa Rendah Diri

Isabella Chase, seorang penulis di The Vessel, pernah mengamati sebuah momen kecil yang tampak biasa namun menyimpan pesan mendalam. Saat duduk di sebuah kafe, ia melihat seorang perempuan meminta maaf berulang kali kepada barista hanya karena kartu kreditnya membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk diproses. Tidak ada kesalahan besar. Tidak ada keributan. Namun rasa bersalah itu muncul begitu otomatis, seolah kehadirannya sendiri telah mengganggu orang lain.

Bagi Isabella, pemandangan seperti itu terasa familiar. Ia pernah menjadi perempuan dengan refleks serupa: takut mengambil ruang, takut merepotkan, dan takut dianggap tidak layak. Banyak orang mengalami hal ini, meskipun dari luar tampak tangguh, sopan, dan percaya diri. Menurut psikologi, rasa rendah diri sering tidak tampil dalam bentuk ekstrem. Ia justru menyelinap lembut ke dalam kebiasaan sehari-hari: cara berbicara, menanggapi pujian, atau mengambil keputusan sederhana.

Berikut adalah 8 perilaku halus yang kerap ditunjukkan orang yang diam-diam bergumul dengan rendah diri—berdasarkan pengamatan Isabella Chase dan temuan psikologi modern. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membantu kita mengenali pola yang mungkin kita jalani tanpa sadar.

1. Sering Meminta Maaf untuk Hal-hal Sepele

Salah satu tanda paling umum dari rendah diri adalah kecenderungan meminta maaf untuk situasi yang sebenarnya tidak membutuhkan maaf sama sekali. Psikologi menghubungkan kebiasaan ini dengan keyakinan bahwa kebutuhan atau kehadiran seseorang tidak sepenting milik orang lain. Orang seperti ini merasa bahwa dirinya mudah menjadi beban.

Isabella pernah mengalaminya saat bekerja di sebuah redaksi. Meski idenya diminta secara langsung, ia tetap meminta maaf sebelum berbicara. Keramahan itu bukan sekadar sopan santun, itu adalah kecemasan yang bersembunyi di balik kesungkanan. Kesadaran menjadi langkah awal. Berhenti sejenak dan bertanya: Apakah ini benar-benar kesalahan saya? Respons sederhana tersebut dapat membantu membangun batas komunikasi yang lebih sehat.

2. Meremehkan Prestasi dan Kemampuan Diri

Orang yang bergumul dengan rendah diri cenderung mengurangi nilai pencapaian mereka sendiri. Ketika diberi pujian, mereka merespons dengan: “Ah, itu hal kecil,” atau “Siapa saja juga bisa melakukan ini.” Dalam perspektif psikologi, sikap merendah ini sering muncul sebagai mekanisme perlindungan. Jika mereka tidak mengakui keberhasilan, mereka merasa tidak perlu menghadapi risiko dicap sebagai penipu atau harus memenuhi ekspektasi tinggi.

Isabella mengingat fase ketika setiap kata pujian untuk tulisannya membuatnya gelisah. Ia mengalihkannya sebagai keberuntungan atau kebetulan, bukan keterampilan. Dibutuhkan latihan mindfulness dan journaling untuk akhirnya menerima bahwa kata-katanya memiliki nilai. Menerima pujian bukanlah bentuk kesombongan, melainkan tindakan keberanian.

3. Memilih Diam Padahal Memiliki Pemikiran Berharga

Bagi banyak orang dengan harga diri rendah, diam terasa lebih aman daripada mengungkapkan pendapat. Mereka khawatir dihakimi, dikritik, atau dianggap kurang layak. Psikologi menyebutnya anticipated shame, yaitu rasa malu yang muncul bahkan sebelum apa pun terjadi.

Isabella sering menyaksikan ini dalam diskusi kelompok. Ada orang-orang yang sebenarnya punya pemikiran tajam, tetapi memilih membungkam diri karena takut suaranya tidak dihargai. Padahal kontribusi tidak selalu membutuhkan tepuk tangan, yang penting adalah ketulusan menyampaikan. Latihan kecil: saat berada dalam kelompok, cobalah menyampaikan satu ide singkat. Satu saja. Kebiasaan ini perlahan membangun kepercayaan diri terhadap suara sendiri.

4. Bergantung pada Validasi Eksternal

Semua orang senang dihargai, tetapi bagi mereka yang memiliki harga diri rapuh, validasi eksternal menjadi sumber utama kestabilan emosional. Tanpa pengakuan orang lain, mereka mudah jatuh pada kecemasan. Ciri-cirinya terlihat dalam kebiasaan kecil:

  • Mencari kepastian tersembunyi dalam pertanyaan sederhana
  • Mengamati reaksi lawan bicara secara berlebihan
  • Merasa cemas ketika pesan dibaca tetapi tidak segera dibalas

Saat Isabella memperdalam latihan yoganya, ia belajar satu hal penting: kehadiran diri sendiri cukup. Tidak ada penghargaan eksternal yang dibutuhkan untuk membuktikan keberadaan. Mengembangkan validasi internal adalah proses penyembuhan yang pelan namun kuat.

5. Terlalu Banyak Memberi untuk Mendapatkan Penerimaan

Memberi adalah tindakan mulia. Namun memberi secara berlebihan—bahkan saat sudah lelah—sering dilakukan sebagai cara mengamankan cinta dan penerimaan. Orang dengan rasa rendah diri sering mengambil peran “penolong universal”, seperti:

  • Menawarkan bantuan tanpa diminta
  • Mengambil tanggung jawab emosional orang lain
  • Merkata “ya” meskipun dirinya sudah kewalahan

Bagi Isabella, fase ini sangat familiar. Di usia dua puluhannya, ia selalu ingin memastikan semua orang nyaman, meski mengorbankan dirinya sendiri. Hingga akhirnya ia gagal menjaga batas personal dan jatuh kelelahan. Memberi yang sehat hadir dari kelimpahan, bukan ketakutan kehilangan.

6. Kesulitan Menerima Kebaikan dan Kasih Sayang

Psikologi menyebut bahwa beberapa orang menolak kebaikan karena keyakinan inti negatif, misalnya “Saya tidak pantas dicintai” atau “Saya tidak cukup baik”. Orang-orang seperti ini akan menepis pujian, mengalihkan dukungan emosional, dan merasa canggung saat menerima perhatian tulus.

Isabella melihat pola ini pada banyak orang yang tumbuh di lingkungan penuh kritik atau ketidakpastian. Ketika seseorang terbiasa dengan penolakan atau tuntutan, kasih sayang justru terasa asing. Menerima kebaikan adalah langkah awal untuk menyadari bahwa diri sendiri layak dicintai.

7. Sering Membandingkan Diri dalam Setiap Situasi

Perbandingan adalah bagian alami dari hidup, tetapi bagi mereka yang bergumul dengan rasa rendah diri, perbandingan menjadi kebiasaan yang melumpuhkan. Setiap perjumpaan sosial berubah menjadi pertandingan senyap: siapa yang lebih sukses, lebih menarik, lebih dicintai, lebih stabil. Alih-alih memotivasi, perbandingan ini justru menguatkan keyakinan bahwa diri mereka tertinggal.

Isabella mengingat banyak pembacanya yang merasa harus mencapai standar tertentu pada usia tertentu. Namun ia belajar melalui pendekatan minimalis bahwa melepaskan ekspektasi luar memberi ruang bagi definisi kebahagiaan versi diri sendiri. Pertanyaannya: Siapakah dirimu jika kamu berhenti membandingkan cukup lama untuk mendengar keinginanmu sendiri?

8. Kesulitan Mengambil Keputusan karena Tidak Percaya pada Diri Sendiri

Keraguan diri membuat pengambilan keputusan—bahkan yang sederhana—menjadi penuh tekanan. Orang dengan rasa rendah diri sering: menunda keputusan, menyerahkan pilihan pada orang lain, terlalu memikirkan skenario buruk, dan merasa takut salah meski risiko kecil. Psikologi menghubungkannya dengan learned helplessness, kondisi ketika seseorang terbiasa percaya bahwa usahanya tidak akan mengubah hasil apa pun.

Isabella pernah merasakan ini ketika harus memilih karpet rumah. Keputusan yang seharusnya sepele berubah menjadi sumber stres besar. Saat itu ia sadar: masalahnya bukan pada karpet, melainkan keyakinan bahwa setiap pilihan bisa jadi bumerang. Melatih diri dengan membuat keputusan kecil—seperti memilih menu atau playlist—dapat membantu membangun kepercayaan diri dari bawah.

Kesadaran adalah titik awal penyembuhan. Rasa rendah diri jarang terlihat mencolok. Ia hadir dalam tindakan kecil, komentar spontan, dan pilihan sehari-hari. Jika kamu mengenali satu atau beberapa perilaku di atas, itu bukan tanda kegagalan, itu tanda kesadaran. Pertumbuhan dimulai dengan memperhatikan: kapan kamu menyusut, kapan kamu memberi terlalu banyak, kapan kamu meragukan kebutuhanmu sendiri.

Isabella Chase percaya bahwa perubahan besar selalu berasal dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Renungkan pertanyaan ini: Apa satu tindakan kecil yang bisa kamu lakukan minggu ini untuk menegaskan nilai dirimu, bukan mempertanyakannya?

0 Response to "8 Perilaku Halus yang Mengungkap Rasa Rendah Diri, Menurut Psikologi"

Posting Komentar